Sunan Gunung Jati vs Fatahillah
Sunan Gunung Jati
VS
Fatahillah
Hai sobat,
berjumpa lagi dengan mimin cantik yang baik hati *Eaakk. Mimin mau share lagi
nih, seorang tokoh kontemporer yang acap kali menjadi kntroversi dan
perdebatan. Siapa dia? Ya! Dia adalah Sunan Gunung Jati dan Fatahillah. Lah,
apa bedanya min? Bukannya sama saja, Sunan Gunung Jati ya Fatahillah,
Fatahillah ya Sunan Gunung Jati. Sebentar sebentar, jadi bingung, sebenarnya
sama atau beda sih?
Mimin akui memang banyak teks sejarah di sekolah-sekolah
yang menyebutkan bahwa Fatahillah yang mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa
dari tangan Portugis itu adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Dengan kata lain teks pada buku-buku pelajaran itu ingin menyampaikan bahwa
Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang sama. (?) Lho?
Tapi
kenyataannya Fatahillah bukanlah Syarif Hidayatullah. Fatahillah atau juga
disebut Faletehan dan Syarif Hidayatullah merupakan sosok yang berbeda.
Siapakah Dia?
Sunan Gunung Jati’s POV
Sebagaimana
diketahui bahwa pernikahan Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda’im, puteri Prabu
Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota
Isma’illiyah Saudi Arabia telah dikaruniai dua orang putera, yaitu Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sejak kanak-kanak, keduanya telah
diperintahkan ayahnya agar menimba ilmu sepenuh-penuhnya dari ulama-ulama yang
terkenal di Timur Tengah. Dengan demikian kemungkinan terjadi antara keduanya
berlainan memilih guru mereka masing-masing. Adapun ulama-ulama terkenal yang
menjadi guru Syarif Hidayatullah diantaranya Syekh Tajmudin Al Kubro dan Syekh
Ataillah Syadzali. Selain ilmu agama dan ilmu sosial, mereka berdua juga
belajar ilmu Tasawuf dari ulama-ulama Baghdad.
Pada saat usia
Syarif Hidayatullah berusia sekitar dua puluh tahunan, ayahnya Syarif Abdillah
meninggal dunia, maka sebagai putera tertua Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk
menggantikan sebagai Amir (penguasa) Kota Isma’illiyah. Akan tetapi karena
Syarif Hidayatullah sudah bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya untuk
menjadi ulama di daerah ibunya yaitu di Negeri Caruban (Cirebon sekarang), maka
beliau melimpahkan jabatan amir tersebut kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Beberapa bulan
setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai amir kota Isma’illiyah, ibunya
Syarifah Muda’im dan dan Syrif Hidayatullah pergi meninggalkannya untuk pulang
ke tanah Jawa. Di Jawa tepatnya di Negeri Caruban, yang jadi penguasa saat itu
adalah kakaknya ibunya yaitu Raden Walangsungsang atau biasa disebut Mbah Kuwu
Cirebon atau Pangeran Cakrabuana. Maka kedatangan mereka disambut dengan meriah
dan mereka berdua dipekenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung
sambil mengajarkan ajaran Islam sebagai penerus Pangguron Islam Gunung Jati.
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Pangeran Cakrabuana menikahkan
Syarif Hidayatullah dengan puterinya, Nyi Ratu Pakungwati. Selanjutnya, pada
taun 1479, karena usianya yang sudah semakin uzur, Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaannya atas Negeri Caruban kepada menantunya, Syarif Hidayatullah. Sejak
saat itulah tampuk kepemimpinan penyebaran ajaran Islam di Nagari Caruban
berada di pundak Syarif Hidayatullah.
Mendengar bahwa
di wilayah Pajajaran, agama Islam berkembang pesat setelah Nagari Caruban
dipimpin oleh seorang mubaligh dari Kota Isma’illiya Arab Saudi, yaitu Syarif
Hidayatullah, maka Raden Patah yang saat itu menjadi Sultan Demak pertama
bersama para mubalig lainnya yang sudah bergelar Sunan menetapkan bahwa Syarif
Hidayatullah sebagai penyebar ajaran Islam di tanah Pasundan dan bergelar
Sayyidin Panatagama Islam atau Sunan. Karena daerah tempat Syarif Hidayatullah
menyebarkan ajaran islam di Pangguron Gunung Jati maka dia diberi gelar sebagai
Sunan Gunung Jati.
Ini dia mukanya
Fatahillah’s POV
Fatahillah atau
Faletehan atau Kyai Fathullah atau yang biasa disebut sebagai Tubagus Pasai
adalah seorang ulama dari Pasai, Aceh yang ikut mengungsi dari penjajahan
Portugis di daerah Pasai tersebut. Fatahillah ini ikut dalam pasukan Dipati
Unus yang pulang dari penyerangan ke Malaka melawan Portugis. Selain
menyelamatkan diri dari penjajahan Portugis, kedatangannya ke Demak juga untuk
ikut serta dalam membantu penyebaran agama Islam di tanah Jawa seperti yang
diharapkan oleh ayahnya, Maulana Makhdar Ibrahim, ulama asal Gujarat.
Sebagai putera
seorang ulama yang terbilang tinggi ilmu agama dan ilmu sosialnya, maka
kehadiran Fatahillah di tengah-tengah Kesultanan Demak sebagai pusat
pengembangan ajaran Islam merupakan harapan baik dalam mengemban tugas suci
bersama para mubaligh lainnya yang masih ada.
Sesuai dengan
yang direncanakan sebelumnya bahwa Demak akan mengirim pasukannya ke Cirebon
untuk bersama-sama mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis,
maka oleh Raden Patah diangkatlah Fatahillah sebagai Panglima Pasukan Demak
yang berangkat ke Cirebon. Dari Cirebon inilah, tentara Demak bersama-sama
tentara dari Cirebon menuju Sunda Kelapa tetap dibawah pimpinan Fatahillah.
Kenyataannya sampai disana pasukan Fatahillah tidak hanya berhadapan dengan
Portugis, tapi juga berhadapan dengan pasukan Pajajaran. Namun demukian pada
akhirnya pasukan Pajajaran dan Portugis dapat dipukul mundur dan Portugis pun
terusir dari Sunda Kelapa pada tahun 1522. Oleh Fatahillah nama Sunda Kelapa
diganti menjadi Jayakarta (sekarang Jakarta). Atas keberhasilannya tersebut,
Fatahillah diberi amanah untuk memimpin Sunda Kelapa.
Akan tetapi
karena keinginannya untuk menetap di Cirebon dan penggilan untuk memimpin pasukan
dalam penyebaran agama Islam di beberapa daerah, maka sebagai pemimpin di Sunda
Kelapa hanya beberapa bulan saja dan kepemimpinannya itu diserahkan kepada Ki
Bagus Angke (Tubagus Angke) sebagai Bupati Jayakarta. Sejak saat itu Fatahillah
bergelar Kyai Bagus Pasai. Sepulangnya dari penaklukan beberapa daerah ke
Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati, Fatahillah dinikahkan dengan puterinya Ratu
Wulung Ayu. Fatahillah wafat dua tahun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati yaitu
pada tahun 1570 dan dimakamkan tepat disamping makam Sunan Gunung Jati.
Sayangnya,
belum ada foto yang menunjukkan muka Fatahillah secara keseluruhan.
Perbedaan
Sunan Gunung Jati dan Fatahillah :
·
Syarif
Hidayatullah adalah putri Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda'im, puteri Prabu
Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota
Isma'illiyah Saudi Arabia. Mereka mempunyai dua putera, Syarif Nurullah yang
melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) dan Syarif Hidayatullah
yang bersama ibunya kembali ke tanah Jawa sepeninggal Maulana Ishaq Syarif
Abdillah. Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif
Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil
mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif
Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah
lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif
Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai
berkembang pesat.
·
Sedangkan
Fatahillah yang biasa disebut Faletehan atau Kyai Fathullah adalah seorang
ulama dari Pasai Aceh yang hijrah ke Demak. Ia kemudian diangkat Raden Patah
sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan
Cirebon menghadapi Portugis untuk mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa.
·
Dalam
buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan Kompas, disebutkan juga
bahwa setelah wafatnya Sultan Trenggana, Ratu Ayu yang merupakan putri Syarif
Hidayatullah menikah dengan Fatahillah. Jadi bisa dikatakan Fatahillah
merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah.
·
Bukti
lainnya adalah makam Fatahillah yang terletak di kompleks makam Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, sedangkan Fatahillah wafat 2 tahun
setelahnya.
Satu hal yang
sangat disayangkan adalah bahwa untuk dibuktikan kebenarannya kita bisa
membuktikan bahwa Fatahillah adalah bukan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah
adalah dengan adanya makam Fatahillah/Tubagus Pasai disamping makam Syarif
Hidayatullah/Sunan Gunung Jati. Pihak yang berwenang di komplek pemakaman itu
tidak mengizinkan sembarang orang untuk memasukinya, melainkan harus ada izin
tertulis yang menandakan bahwa seseorang itu mempunyai garis keturunan ke
atasnya sampai kepada Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah.
Makam :
1. Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah)
2. Tubagus Pasai Fatahillah / Faletehan
3. Syarifah Muda’im (Nyi Rara Santang)
4. Nyi Gede Sembung ( Nyi Qurausyin)
5. Nyi Mas Tepasari
6. Pangeran Cakrabuana ( Mbah Kuwu Cerbon)
7. Nyi Ong Tien
8. Pangeran Dipati Cirebon I (Pangeran Swarga)
9. Pangeran Jakalelana
10. Pangeran Pasarean
11. Ratu Mas Nyawa
12. Pangeran Sedang Lemper
13. Pangeran Sultan Panembahan Ratu
14. Adipati Keling
15. Komplek Pangeran SIndang Garuda
16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I)
17. Ki Gede Bungko
18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas)
19. Komplek Sultan Mo. Badaridin
20. Komplek Sultan Jamaluddin
21. Komplek Nyi Mas Rarakerta
22. Komplek Sultan Moh. Badaridin
23. Komplek Panembahan Ratu Sasangkan
24. Adipati Awangga (Arya Kamuning)
25. Komplek Sultan Mandurareja
26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin
27. Komplek Sultan Nurbuwat
28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiuddin
29. Komplek Sultan Saifuddin Matangaji
1. Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah)
2. Tubagus Pasai Fatahillah / Faletehan
3. Syarifah Muda’im (Nyi Rara Santang)
4. Nyi Gede Sembung ( Nyi Qurausyin)
5. Nyi Mas Tepasari
6. Pangeran Cakrabuana ( Mbah Kuwu Cerbon)
7. Nyi Ong Tien
8. Pangeran Dipati Cirebon I (Pangeran Swarga)
9. Pangeran Jakalelana
10. Pangeran Pasarean
11. Ratu Mas Nyawa
12. Pangeran Sedang Lemper
13. Pangeran Sultan Panembahan Ratu
14. Adipati Keling
15. Komplek Pangeran SIndang Garuda
16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I)
17. Ki Gede Bungko
18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas)
19. Komplek Sultan Mo. Badaridin
20. Komplek Sultan Jamaluddin
21. Komplek Nyi Mas Rarakerta
22. Komplek Sultan Moh. Badaridin
23. Komplek Panembahan Ratu Sasangkan
24. Adipati Awangga (Arya Kamuning)
25. Komplek Sultan Mandurareja
26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin
27. Komplek Sultan Nurbuwat
28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiuddin
29. Komplek Sultan Saifuddin Matangaji
Menurut bukti
dan perbedaan yang disertakan, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Fatahillah
dan Syarif Hidayatullah bukanlah sosok yang sama. Meskipun belum dibuktikan
dengan jelas bukti fisiknya, seperti makam Fatahillah yang belum jelas
keberadaannya karena hanya golongan tertentu yang dapat masuk pemakaman.
Mau tau makom fatahillah, ? !
ReplyDelete