Tradisi Islam Lampung

3:35 AM Unknown 2 Comments


Tradisi Islam Lampung

                Halo sobat, gue sekarang ingin ngeshare suatu kebudayaan kampung halamanku, ceilah. Ya, tetapi berbeda karena kebudayaan yang satu ini bernafaskan Islam. Cekidot!

1.      Kebiasaan Ngarak Maju Atau Budaya Ngarak

Dalam adat perkawinan pada Masyarakat Adat Lampung Pesisir dikenal istilah “Ngarak Maju”. Ngarak menurut istilah adalah Arak-arakan, sedangkan Maju adalah Pengantin. Maka “Ngarak Maju” adalah Adat arak-arakan pengantin Lampung yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, sebagai pertanda bahwa si pria telah resmi menikahi dengan si wanita (pengantin perempuan).

Dalam tradisi ngarak tersebut unsur yang terpengaruh Budaya Islam adalah penggunaan alat musik Rabana sebagai alat musik pengiring arak-arakan dan pelantunan Salawat dan Syair Arab yang dikenal dengan istilah Zikir Lama dan Zikir Baru. Demikian juga pada saat pengantin telah tiba di rumah pihak pengantin pria (setelah diarak), maka pihak keluarga si Pria menyambut rombongan Arakan tersebut dengan melantunkan Syair Arab “Lail” (ciptaan Imam Maliki).

 

2.      Adat Manjau Pedom

Adat Manjau Pedom adalah Adat bertamu untuk menginap di rumah pihak wanita oleh pihak keluarga pria yang dilakukan setelah prosesi ijab kabul. Hal yang ditekankan dalam Adat Manjau Pedom ini adalah menjalin hubungan silaturahmi antara keluarga pihak mempelai, sehingga terjalin hubungan saudara yang kuat dan saling tolong menolong antar kedua keluarga.

 


3.      Cempala Khua Belas

Dalam peraturan bujang gadis dikenal istilah “Cempala Khua Belas”, dimana hal ini mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan barang siapa yang melanggar aturan Adat tersebut maka akan diberi sangsi. Dalam aturan tersebut tersurat akan adanya pengaruh hukum Islam yang mengatur hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, aturan pergaulan hidup bermasyarakat, serta aturan kesopanan dan kesusilaan.

 

4.      Alat Musik dan Kesenian

Pemakaian alat musik dan kesenian yang terpengaruh Budaya Islam adalah Alat musik Rabana, Gitar Tunggal, Gitar Gambus dan Piul (Biola). Alat tersebut digunakan pada saat prosesi adat atau pun pada saat pertunjukan kesenian pada pesta perkawinan. Sehingga kita kenal hingga saat ini kesenian Orkes Gambus Lampung yang telah muncul sejak tahun 1970-an.

 

5.      Acara Betamat

“Betamat” berasal dari kata tamat (selesai), tetapi menurut makna adalah membaca sebagian ayat-ayat Alquran (Juz Amma) pada malam hari yang biasanya dilakukan pada saat Khitanan dan Perkawinan. Dalam acara Betamat juga dilakukan pengarakan dari tempat guru ngaji anak-anak atau bujang gadis yang akan melakukan betamat.

 

6.       Acara Khatam Al-Quraan

Acara Khataman Al-Quraan biasanya dilakukan oleh beberapa orang (biasanya kaum bapak dan bujang) di rumah kerabat seseorang yang meninggal, yang biasnya dilakukan (dapat diselesaikan) selama 7 hari disamping acara Tahlilan. Pada zaman dulu, Acara Khataman Al-Quraan dilakukan juga pada saat Acara Sebambangan, yang dilakukan di rumah pihak laki-laki setelah wanita yang dibambangkan menginap 1 hari di rumah kepala adat. Acara ini dilakukan kira-kira sampai 3 – 7 hari oleh bujang-gadis, menungggu keluarga pihak wanita menyusul untuk memberi persetujuan kepada calon mempelai.

 

7.       Acara Marhabanan

Acara Marhabanan adalah acara syukuran dengan membaca Kitab Bersanzi yang dilakukan oleh kaum bapak atau bujang dalam memberi nama seorang bayi. Acara ini dilakukan biasanya pada malam hari di rumah keluarga atau kakek si bayi. Disamping memberi nama seorang bayi, dilakukan juga pemberian kenamongan bayi tersebut (Baca: Adat Namong dalam Masyarakat Adat Way Lima).

 

8.       Tradisi Masyarakat yang lain

Dalam masyarakat banyak tradisi yang masih bertahan dilakukan karena masih dianggap baik dan tidak bertentangan dengan agama, antara lain:

·         Rhuahan bersedekah dengan mengundang tetangga dekat guna memanjatkan do’a bagi para saudara mu’min dan muslim yang telah meninggal dunia serta untuk muslimi dan mukminin yang masih hidup, terutama mendoakan para arwah keluarga si pengundang, karena itu disebut “ruahan” (berasal dari kata (ruh). Biasanya dalam undangan tersebut dihidangkan sedikit makanan dan minuman.

·         Tabuh Beduk. Beduk sangat besar fungsinya bagi kehidupan masyarakat di kampung. Beduk tidak boleh dibunyikan sembarang waktu, karena akan menimbulkan kericuhan masyarakat bila dibunyikan tidak sesuai dengan kepentingannya.

 

Macam-macam tabuh beduk itu antara lain:

a)      Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu shalat, di bunyikan pada tiap waktu shalat (5 waktu).

b)      Tabuh beduk pada waktu shalat Jum’at, di bunyikan 2 x, yaitu jam 11 untuk persiapan, dan 11.30 untuk segera berkumpul.

c)       Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu shalat tarawih, khusus bulan Ramadhan, di bunyikan dengan nada khusus, sekitar jam 7 sampai jam 7.30 malam.

d)      Tabuh beduk bulangekh, di bunyikan sehari menjelang bulan Ramadhan.

e)      Tabuh beduk menjelang lebaran bulan Romadhon (I’dul Fitri).

“BudayaLampung merupakan perpaduan antara 3 Budaya Dunia yaitu Budaya Cina, Budaya India dan Budaya Arab” (Referensi Anjak Seandanan)

 

2 comments:

Sunan Gunung Jati vs Fatahillah

7:37 AM Unknown 1 Comments


Sunan Gunung Jati

VS

 Fatahillah


Hai sobat, berjumpa lagi dengan mimin cantik yang baik hati *Eaakk. Mimin mau share lagi nih, seorang tokoh kontemporer yang acap kali menjadi kntroversi dan perdebatan. Siapa dia? Ya! Dia adalah Sunan Gunung Jati dan Fatahillah. Lah, apa bedanya min? Bukannya sama saja, Sunan Gunung Jati ya Fatahillah, Fatahillah ya Sunan Gunung Jati. Sebentar sebentar, jadi bingung, sebenarnya sama atau beda sih?
Mimin akui  memang banyak teks sejarah di sekolah-sekolah yang menyebutkan bahwa Fatahillah yang mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis itu adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan kata lain teks pada buku-buku pelajaran itu ingin menyampaikan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang sama. (?) Lho? 
Tapi kenyataannya Fatahillah bukanlah Syarif Hidayatullah. Fatahillah atau juga disebut Faletehan dan Syarif Hidayatullah merupakan sosok yang berbeda.

 

Siapakah Dia?

 
Sunan Gunung Jati’s POV
Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda’im, puteri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’illiyah Saudi Arabia telah dikaruniai dua orang putera, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sejak kanak-kanak, keduanya telah diperintahkan ayahnya agar menimba ilmu sepenuh-penuhnya dari ulama-ulama yang terkenal di Timur Tengah. Dengan demikian kemungkinan terjadi antara keduanya berlainan memilih guru mereka masing-masing. Adapun ulama-ulama terkenal yang menjadi guru Syarif Hidayatullah diantaranya Syekh Tajmudin Al Kubro dan Syekh Ataillah Syadzali. Selain ilmu agama dan ilmu sosial, mereka berdua juga belajar ilmu Tasawuf dari ulama-ulama Baghdad.
Pada saat usia Syarif Hidayatullah berusia sekitar dua puluh tahunan, ayahnya Syarif Abdillah meninggal dunia, maka sebagai putera tertua Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan sebagai Amir (penguasa) Kota Isma’illiyah. Akan tetapi karena Syarif Hidayatullah sudah bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya untuk menjadi ulama di daerah ibunya yaitu di Negeri Caruban (Cirebon sekarang), maka beliau melimpahkan jabatan amir tersebut kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Beberapa bulan setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai amir kota Isma’illiyah, ibunya Syarifah Muda’im dan dan Syrif Hidayatullah pergi meninggalkannya untuk pulang ke tanah Jawa. Di Jawa tepatnya di Negeri Caruban, yang jadi penguasa saat itu adalah kakaknya ibunya yaitu Raden Walangsungsang atau biasa disebut Mbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana. Maka kedatangan mereka disambut dengan meriah dan mereka berdua dipekenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan ajaran Islam sebagai penerus Pangguron Islam Gunung Jati. Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan puterinya, Nyi Ratu Pakungwati. Selanjutnya, pada taun 1479, karena usianya yang sudah semakin uzur, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaannya atas Negeri Caruban kepada menantunya, Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah tampuk kepemimpinan penyebaran ajaran Islam di Nagari Caruban berada di pundak Syarif Hidayatullah.
Mendengar bahwa di wilayah Pajajaran, agama Islam berkembang pesat setelah Nagari Caruban dipimpin oleh seorang mubaligh dari Kota Isma’illiya Arab Saudi, yaitu Syarif Hidayatullah, maka Raden Patah yang saat itu menjadi Sultan Demak pertama bersama para mubalig lainnya yang sudah bergelar Sunan menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah sebagai penyebar ajaran Islam di tanah Pasundan dan bergelar Sayyidin Panatagama Islam atau Sunan. Karena daerah tempat Syarif Hidayatullah menyebarkan ajaran islam di Pangguron Gunung Jati maka dia diberi gelar sebagai Sunan Gunung Jati.
Ini dia mukanya
 

Fatahillah’s POV
Fatahillah atau Faletehan atau Kyai Fathullah atau yang biasa disebut sebagai Tubagus Pasai adalah seorang ulama dari Pasai, Aceh yang ikut mengungsi dari penjajahan Portugis di daerah Pasai tersebut. Fatahillah ini ikut dalam pasukan Dipati Unus yang pulang dari penyerangan ke Malaka melawan Portugis. Selain menyelamatkan diri dari penjajahan Portugis, kedatangannya ke Demak juga untuk ikut serta dalam membantu penyebaran agama Islam di tanah Jawa seperti yang diharapkan oleh ayahnya, Maulana Makhdar Ibrahim, ulama asal Gujarat.
Sebagai putera seorang ulama yang terbilang tinggi ilmu agama dan ilmu sosialnya, maka kehadiran Fatahillah di tengah-tengah Kesultanan Demak sebagai pusat pengembangan ajaran Islam merupakan harapan baik dalam mengemban tugas suci bersama para mubaligh lainnya yang masih ada.
Sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya bahwa Demak akan mengirim pasukannya ke Cirebon untuk bersama-sama mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis, maka oleh Raden Patah diangkatlah Fatahillah sebagai Panglima Pasukan Demak yang berangkat ke Cirebon. Dari Cirebon inilah, tentara Demak bersama-sama tentara dari Cirebon menuju Sunda Kelapa tetap dibawah pimpinan Fatahillah. Kenyataannya sampai disana pasukan Fatahillah tidak hanya berhadapan dengan Portugis, tapi juga berhadapan dengan pasukan Pajajaran. Namun demukian pada akhirnya pasukan Pajajaran dan Portugis dapat dipukul mundur dan Portugis pun terusir dari Sunda Kelapa pada tahun 1522. Oleh Fatahillah nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta (sekarang Jakarta). Atas keberhasilannya tersebut, Fatahillah diberi amanah untuk memimpin Sunda Kelapa.
Akan tetapi karena keinginannya untuk menetap di Cirebon dan penggilan untuk memimpin pasukan dalam penyebaran agama Islam di beberapa daerah, maka sebagai pemimpin di Sunda Kelapa hanya beberapa bulan saja dan kepemimpinannya itu diserahkan kepada Ki Bagus Angke (Tubagus Angke) sebagai Bupati Jayakarta. Sejak saat itu Fatahillah bergelar Kyai Bagus Pasai. Sepulangnya dari penaklukan beberapa daerah ke Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati, Fatahillah dinikahkan dengan puterinya Ratu Wulung Ayu. Fatahillah wafat dua tahun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati yaitu pada tahun 1570 dan dimakamkan tepat disamping makam Sunan Gunung Jati.
Sayangnya, belum ada foto yang menunjukkan muka Fatahillah secara keseluruhan.
 
Perbedaan Sunan Gunung Jati dan Fatahillah :
·         Syarif Hidayatullah adalah putri Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda'im, puteri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma'illiyah Saudi Arabia. Mereka mempunyai dua putera, Syarif Nurullah yang melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) dan Syarif Hidayatullah yang bersama ibunya kembali ke tanah Jawa sepeninggal Maulana Ishaq Syarif Abdillah. Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.
·         Sedangkan Fatahillah yang biasa disebut Faletehan atau Kyai Fathullah adalah seorang ulama dari Pasai Aceh yang hijrah ke Demak. Ia kemudian diangkat Raden Patah sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis untuk mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa.
·         Dalam buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan Kompas, disebutkan juga bahwa setelah wafatnya Sultan Trenggana, Ratu Ayu yang merupakan putri Syarif Hidayatullah menikah dengan Fatahillah. Jadi bisa dikatakan Fatahillah merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah.
·         Bukti lainnya adalah makam Fatahillah yang terletak di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, sedangkan Fatahillah wafat 2 tahun setelahnya.
Satu hal yang sangat disayangkan adalah bahwa untuk dibuktikan kebenarannya kita bisa membuktikan bahwa Fatahillah adalah bukan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah adalah dengan adanya makam Fatahillah/Tubagus Pasai disamping makam Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati. Pihak yang berwenang di komplek pemakaman itu tidak mengizinkan sembarang orang untuk memasukinya, melainkan harus ada izin tertulis yang menandakan bahwa seseorang itu mempunyai garis keturunan ke atasnya sampai kepada Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah.
Makam :
1. Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah)
2. Tubagus Pasai Fatahillah / Faletehan
3. Syarifah Muda’im (Nyi Rara Santang)
4. Nyi Gede Sembung ( Nyi Qurausyin)
5. Nyi Mas Tepasari
6. Pangeran Cakrabuana ( Mbah Kuwu Cerbon)
7. Nyi Ong Tien
8. Pangeran Dipati Cirebon I (Pangeran Swarga)
9. Pangeran Jakalelana
10. Pangeran Pasarean
11. Ratu Mas Nyawa
12. Pangeran Sedang Lemper
13. Pangeran Sultan Panembahan Ratu
14. Adipati Keling
15. Komplek Pangeran SIndang Garuda
16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I)
17. Ki Gede Bungko
18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas)
19. Komplek Sultan Mo. Badaridin
20. Komplek Sultan Jamaluddin
21. Komplek Nyi Mas Rarakerta
22. Komplek Sultan Moh. Badaridin
23. Komplek Panembahan Ratu Sasangkan
24. Adipati Awangga (Arya Kamuning)
25. Komplek Sultan Mandurareja
26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin
27. Komplek Sultan Nurbuwat
28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiuddin
29. Komplek Sultan Saifuddin Matangaji
Menurut bukti dan perbedaan yang disertakan, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Fatahillah dan Syarif Hidayatullah bukanlah sosok yang sama. Meskipun belum dibuktikan dengan jelas bukti fisiknya, seperti makam Fatahillah yang belum jelas keberadaannya karena hanya golongan tertentu yang dapat masuk pemakaman.
 

1 comments: