Goodbye, Grandfather
Goodbye, Grandfather
Tahun kemarin, di tengah puncak
musim hujan, kakekku meninggal, ia berusia 76 tahun. Aku tahu, itu akan terjadi
cepat atau lambat. Aku tahu bahwa aku harus merelakannya, karena tak ada yang
abadi di dunia ini, semua akan pergi. Camkan itu, semua akan pergi. Namun ketika
aku mendengarnya, mendengar berita memilukan tersebut, rasanya seperti
seseorang telah meninju perutku, sakit sekali. Teman-teman dan keluargaku semuanya
telah berusaha melakukan yang terbaik, mengirim karangan bunga, mengirim doa
dan harapan. Tetapi saat itu, aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menanggapinya,
apa daya aku belum terlalu dewasa, masih belum mengerti arti kehilangan. Saat itu,
yang bisa aku lakukan adalah sembunyi, sembunyi dari dunia, rasanya aku ingin
menghilang saja. Tetapi hidup harus terus berlanjut, apapun kondisinya.
Beliau telah berjuang begitu keras
untuk tetap hidup. Awal tahun 2015, ia jatuh dari kamar mandi dan kepalanya
terbentur, yang menyebabkan pendarahan otak dan operasi. Para dokter sudah
memvonis bahwa hidupnya tak akan lama lagi.
Aku berusaha tegar dan kuat,
menahan derai air mata. Beliau selamat, dengan satu pengorbanan yaitu kehilangan
sebagian fungsi otaknya. Butuh waktu, berbulan-bulan, tapi toh ia sembuh juga dan
ingat kami. Kami pun menikmati beberapa bulan merajut kenangan indah.
Percakapan terakhir yang kumiliki dengannya
adalah dua minggu sebelum beliau pergi. Disitu, di tengah rintik hujan, aku
bercerita dengannya, tentang pengalaman hidup dan dampak yang beliau berikan.
Aku senang sekali ketika bundaku membiarkan aku dan adikku menginap di
rumahnya. Terakhir, aku katakan padanya bahwa aku sungguh berterima kasih atas
kasih sayang dan perhatian yang beliau berikan kepadaku dan adikku, dua cucu
yang selalu merepotkan. Beliau tertawa dengan renyah dan berkata, "Terima
kasih."
Jujur saja, bagian tersulit dari
semua ini adalah menerima kenyataan, kenyataan bahwa ia sudah meninggal. Aku
tahu dia akan meninggal. Aku tahu bahwa setiap orang akan meninggal, itulah
hidup, itulah faktanya. Tapi aku masih marah akan kepergian beliau.
Aku marah, aku merasa belum membuka
diri, menghapus batas dan penghalang di antara kami. Memang, kami memiliki
ikatan yang hebat, tetapi sebagian besar adalah non-verbal. Ada banyak hal di
dunia ini yang memang tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata, tidak perlu
dengan suara keras, karena hati yang berbicara. Aku seharusnya mengabaikan
kekonyolan itu dan berbicara, benar-benar berbicara. Ah, sudahlah, sudah
terlambat sekarang.
Meskipun ada banyak hal yang
kusesali, aku bersyukur, untuk semua hal yang kami miliki bersama. Aku bersyukur
karena beliau telah membentuk dan menunjukkan, siapa diriku yang sebenarnya.
Beliau mungkin tidak lagi eksis di bumi ini, tapi semangatnya, cinta dan
pengorbanannya tetap hidup dan berakar, tetap abadi, tak lekang oleh waktu.
Selamat tinggal, aki…
Grandpa,
I Miss You
I know it hurt
you;
It hurt me too,
But now that
you're gone
All I know is I
miss you.
You were there
for so long,
I never thought
you would leave.
I though you had
another year
Waiting up your
sleeve
The day that you
left
Was the saddest
of my life.
I remember
sitting at home
And crying all
day and night
I might be
selfish
But I wish you
were here,
Or if you stayed
For one more
year
I know you loved
me,
And I still love
you too.
So I'm trying to
be strong
Just for you
I know I'm not
perfect.
I know I'll
never be.
I just hope
you're up there
And that you're
proud of me.
You had to let
go
Even though you
were holding on for so long
But there's not
a day I don't think of you
And how you were
so strong
I just want to
tell you
That you're
always in my heart
Even though I
still cry
I know we're not
apart
Thinking of you,
Grandpa...
0 comments: