Ketika Zaman Batu Menyerang
Ketika Zaman
Batu Menyerang
Hai sobat,
kita bertemu lagi. Gini sobat, sekarang kan sudah era modern, ceilah.. abad 21
nih. Sekarang kita tidak boleh melupakan jasa-jasa orang terdahulu yang telah
memberi inspirasi penemu-penemu modern. Tentu kita tidak boleh melupakan zaman
batu. Zaman batu. Ya, zaman batu. Pasti hal yang pertama sobat-sobat pikirkan
adalah manusia primitif beserta bongkahan-bongkahan batu yang jadi peralatan
mereka. Tetapi, zaman batu bukan hanya sekadar itu. Coba sobat renungkan dulu
sejenak.
Aku
berjalan. Ku lihat di sekitar, orang-orang dengan peradaban modern. Di tengah
kota hasil rekayasa budaya manusia. Hasil reinkarnasi kebudayaan maju.
Orang-orang itu membuat tempat tinggal. Tempat mengumpulkan anak-cucu, tempat bersandar
dalam letihnya kehidupan. Bukan hanya itu, orang-orang itu juga membuat
jembatan, membuat terowongan, membuat pasar, dan dengan singkatnya membuat
kehidupan di dalam kehidupan yang telah digariskan.
Aku
perhatikan. Terlihat hampir setiap orang membangun itu semua dengan batu keras.
Batu yang tak terpecah oleh tangan-tangan lemah. Batu yang cantik. Batu yang
memisahkan kesenjangan peradaban lama dengan peradaban modern. Mereka membuat
rumah dengan batu. Mereka membuat kantor dengan batu. Mereka membuat jalan
dengan batu. Mereka membuat taman dengan batu. Sehingga mereka membuat
kehidupan dengan BATU!
Aku
teringat, terbayang masa kecil di masa lalu. Ketika aku duduk di sekolah dasar.
Sekolah bertembok kayu separuh batu. Sekolah bertaman-taman bunga. Sekolah
bersahabatkan keakrabat. Sekolah beralaskan batu-batu pecah, berongga tanah.
Sekolah beratapkan seng sedikit celah-celah langit.
Aku masih
teringat. Terdengar guru mengajarkan disiplin ilmu. Ilmu tentang tata buku masa
lalu. Masa lalu yang bercerita tentang batu. Batu yang dijadikan perkembangan
peradaban manusia asing. Asing karena hasil temuan di dalam perut bumi. Bumi
yang juga berisikan BATU.
Aku masih
teringat. Di dalam ilmu itu, bercerita tentang persahabatan manusia dengan
batu. Di mana manusia mendapatkan api dengan batu. Manusia membuat panah dengan
batu. Manusia membuat patung dengan batu. Manusia membuat candi dengan batu.
Manusia membuat kuburan dengan batu. Dan manusia berkembang seiring
perkembangan BATU.
Aku masih
teringat. Terlintas bahwa batu-batu itu ada yang kecil, batu itu ada yang
besar. Dan aku terkejut, teringat akan istilah lama. MEGALITIKUM. Peradaban
manusia yang bersahabat dengan BATU BESAR. Sebesar perkembangan pesat
peradaban.
Aku
terduduk. Mencoba menuliskan tata buku itu kembali. Tata buku yang mungkin
pernah mengalami rugi. Tata buku yang juga mungkin pernah mengalami laba. Dan
dengan RUGI/LABA itu manusia tetap mempertimbangkan untuk tetap berinvestasi
dengan keuntungan yang diberikan oleh saham BATU!
Aku menulis.
Mencoba menginvestigasi layaknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentang
ketidakwajaran-ketidakwajaran soal operasional peradaban manusia yang
bersinggungan dengan BATU! Sebab aku yakin, ibarat krisis moneter jika tidak
diperiksa dan tidak dikendalikan denganwajar, maka BATU-BATU bumi itu bisa
menjadi boomerang layaknya tentara gajah yang dilempari dengan BATU oleh
ababil-ababil langit yang datang entah dari mana.
Aku
bertanya. Mencoba menemukan jawaban sendiri. Bukankah zaman BATU sudah ada
sejak zaman dulu? Bukankah tata buku masa kini berasal LABA/RUGI tata buku masa
lalu? Bukankah zaman megalitikum sudah ada sejak zaman dulu?
Aku
berpikir. Mencoba damai dengan keadaan. Mencoba menemukan persamaan dan
perbedaan antara zaman megalitikum pada saat homo soloensis Berjaya dengan
zaman megalitikum pada saat manusia modern, hebat Berjaya.
Aku
terhentak. Mencoba menebak bahwa kedua zaman sama persis adanya. Aku terkejut,
mencoba mengerutkan dahi, mencari-cari jawaban di sudut-sudut pikiran yang
terbungkus oleh akal yang masih lumayan bagus bahwa perbedaan kedua zaman
tersebut terletak pada gaya hidup. Gaya hidup rumah batu, gaya hidup kantor
batu, gaya hidup jalan-jalan batu, yang lebih mengerikan adalah gaya hidup
taman-taman batu. Baya hidup yang menutupi tanah. Gaya hidup yang tak lagi
memikirkan kelangsungan hidup.
Aku
menerawang. Mencoba berpikir memandang jauh ke masa depan. Hemmmm, peradaban
yang sangat disayangkan untuk zaman sekarang. Sayang, karena peradaban akan
melangkah lagi atau terhenti, atau mungkin tetap melangkah namun kejauhan.
Aku
terhenti. Terhenti menuliskan investigasi untuk tata buku zaman sekarang.
Terhenti di tengah jalan buntuh analisis yang masih membingungkan. Tapi aku
harus tetap melanjutkan pengauditan ini, untuk mengungkapkan apakah tata buku
peradaban manusia dengan BATU masih wajar tanpa pengecualian. Tanpa
catatan-catatan nakal manusia.
Aku
terhanyut. Terbawa oleh kesalahan-kesalahan tangan manusia. Manusia yang
mempertahankan gaya hidup. Gaya hidup yang tak memikirkan hidup orang lain. Orang
lain yang punya hak untuk hidup juga. Gaya hidup yang tak memikirkan alam
kehidupan. Gaya hidup yang tak memprediksi hari depan kehidupan.
Aku
berkicau. Mencoba marah dengan manusia. Bukankah jika batu ini melapisi
permukaan bumi, bumi ini akan hancur? Coba perhatikan! Jika bumi tertutup oleh
batu dengan kapasitas yang melebihi, di mana persentase kapasitas batu melebihi
persentase kapasitas tanah, bumi tidak mau menyerap air? Bukankah banjir akan
berada di mana-mana? Bukankah kota akan tertutup air? Bukankah perjalanan
kendaraan akan terhanyut oleh air dan memperlambat kehidupan? Bukankah
rumput-rumput akan punah? Apakah rumput itu bisa hidup di batu? Dan secara
perlahan prilaku manusia yang didasari oleh gaya hidup dengan batu akan membuat
hati manusia menjadi keras sekeras BATU! Pada akhirnya, peradaban manusia akan
punah karena tidak memperhatikan alam dan berlebihan memanfaatkan BATU!
Aku
berkesimpulan. Jika kehidupan tidak memperhatikan setiap segmen kehidupan
lainnya, lambat laun akan memporak-porandakan kehidupan secara keseluruhan.
Lalu aku
berjalan lagi. Mencoba memperbaiki setiap pos-pos tata buku kehidupan yang
pernah dikacaukan oleh peradaban BATU!
Repost from : http://bangsurtangguh.blogspot.co.id/2011/02/zaman-batu-tata-buku-kehidupan-masa.html
0 comments: